Tulisan ini bukan mengenai seseorang yang bingung memilih jurusan yang ditempuh di bangku perkuliahan. Tulisan ini bukan ditulis oleh seseorang yang baru lulus dari bangku sekolah dan baru saja ingin memilih universitas yang dituju.
Tulisan ini ditulis oleh seorang mahasiswa yang tidak berhasil diterima di jurusan yang dia inginkan tetapi diterima di jurusan yang dianggap menarik baginya dan mudah dari segi ospek jurusannya. (Ya, itu benar). Itulah saya.
Sejak awal, saya bercita-cita untuk diterima di jurusan Informatika. Well, actually I’ve got it in the end of year 2009. Sebenarnya, saya sudah diterima di Teknik Informatika – Institut Teknologi Telkom. Kemudian, saya memutuskan untuk mengambil kursi di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan – Institut Teknologi Bandung yang didapat via jalur tertulis SNMPTN 2010 dengan alasan singkat: di IT Telkom diharuskan menggunakan kemeja putih + celana panjang. Ya, klise tapi nyata.
Tahun 2011, saya dinyatakan lolos masuk ke program studi Arsitektur ITB. Tentu saya gembira dimana dalam pandangan saya, arsitektur termasuk salah satu bidang industri kreatif di Indonesia. Setahun saya menjalankan kehidupan di prodi Arsitektur ini dan saya langsung menyimpulkan…
“Saya tidak akan menjadi arsitek tetapi tetap akan menggunakan ilmu arsitektur yang didapat.”
Karena anggapan itu pun, saya memilih untuk tidak mengikuti sayembara yang ada selama liburan dan memilih menyibukan diri di bidang ICT yang saya gemari. Saya memang mendapatkan apa yang ingin saya rasakan. Networking yang baik dengan rekan-rekan insan kreatif ICT di Indonesia dan bahkan saya ikut nimbrung dengan komunitas developer aplikasi yang ada. Namun, ada satu hal yang belum bisa saya hasilkan: Karya.
Karya bisa dihasilkan melalui passion yang kuat dan/atau didikan formal yang baik dan sesuai dengan bidangnya. Passion saya lebih condong ke dunia pengembangan aplikasi tetapi didikan formal yang saya dapatkan adalah Arsitektur. Bagaimana saya mengkolaborasikannya?
Selang kemudian, saya teringat dengan bagaimana Rara begitu giatnya di dunia media sosial dan blogging sementara dirinya seorang dokter gigi? Bagaimana seorang Tompi yang lebih terkenal sebagai seorang penyanyi ketimbang profesi hasil didikan formalnya sebagai dokter? Dan bagaimana seorang Ridwan Kamil dapat menghasilkan karya besarnya di jalur Arsitektur tetapi masih dapat aktif di dunia komunitas kreatif Bandung?
Sinergi, Gairah (Passion) dan Karya. Itulah kata-kata yang dapat saya simpulkan detik ini dari contoh di atas. Hasil didikan formal yang saya dapatkan dan gairah yang saya miliki harus sinergis sehingga menghasilkan sebuah karya yang maksimal.
Karena ini pula, saya memutuskan untuk kembali akan menjadi seorang arsitek yang sinergis dengan gairah (passion) yang kuat sehingga menghasilkan karya yang luar biasa. Insya Allah, semoga saya dapat istiqamah (konsisten) dengan pernyataan saya ini.
Leave a Reply