Kata-kata itulah yang terngiang-ngiang di kepala saya beberapa hari ini. Angkatan saya di prodi Arsitektur memang sedang mengalami masalah. Tak jelas masalahnya apa, sungguh klise penuh drama tapi itu fakta. Saya sendiri pun tak bisa memahaminya karena … sudahlah saya sulit menjelaskannya.
Di kehidupan pribadi pun, saya sendiri sering mempertanyakan. Apakah seorang mahasiswa harus mengabdi kepada organisasi kemahasiswaannya karena formalitas, pertemanan atau datang dari hati nurani? Apakah seorang mahasiswa harus terus-menerus menghabiskan waktunya untuk berkegiatan di kampus? Apakah seorang mahasiswa harus melepas kewajibannya sebagai seorang anak di lingkungan keluarga primer HANYA karena kegiatan non-akademis di kampus?
Ya, saya terjebak di irisan berbagai macam kepentingan. Kepentingan keluarga. Kepentingan akademis. Kepentingan kemahasiswaan. Mana yang harus saya pilih? Haruskah pakai skala prioritas? Semuanya penting dan memaksakan agar berada di posisi pertama dari skala prioritas saya! Saya kesal dengan semua ini. Tak aneh beberapa minggu ini, saya memilih untuk diam dan tak mau aktif di beberapa posisi, mengundurkan diri dari berbagai posisi di kampus. Saya lelah akan semua ini.
I wanted to be guided. But it never happened. I choose to break the boundaries and make my own guide guided.
Sent from my iPad
Leave a Reply